“Berbahasa Indonesia lah dengan baik dan
benar”.
Kalimat ini sudah sering kali kita baca,
dengar, atau tulis. Terkesan sepele dan hanya sekadar formalitas. Tapi kalau
diresapi benar-benar, sungguh dalam maknanya.
Apa sebenarnya maksud dari kalimat pertama di
atas?
Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi
antar sesama manusia tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia
lainnya. Meskipun berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini bahasa
Indonesia, namun ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing
kelompok menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Pemanfaatan ragam bahasa yang
tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa inilah
yang disebut berbahasa yang baik. Dapat dikatakan, berbahasa yang baik adalah
berbahasa yang sesuai konteks.
Sementara berbahasa yang benar adalah jika
pemakaian bahasa -dalam hal ini bahasa Indonesia- mengikuti kaidah yang
dibakukan. Bahasa yang baik dan tepat sasaran tidak selalu menggunakan kaidah
baku ini. Misalnya, pemakaian bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari
tentu berbeda dengan pemakaian bahasa Indonesia dalam sebuah pidato formal.
Pengertian kalimat tersebut tentu juga
mencakup bahasa tulisan. Meski mengaku suka menulis, tapi akan berkurang
maknanya ketika kita tak benar-benar memahami dan menggunakan kaidah penulisan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Cobalah membuat satu tulisan dengan
kata-kata yang disusun secara serampangan. Sungguh akan terasa tak enak dibaca.
Meski isi tulisan mungkin berisi, namun
alih-alih memberi manfaat dan kesan bagi pembaca, tulisan kita hanya dibaca
sekilas lalu ditinggalkan. Pembaca ingin buru-buru saja mengakhiri bacaannya,
menangkap intinya saja, lalu ya sudah. Jika beberapa kali pembaca menemukan
kesemrawutan berbahasa itu di tulisan kita, maka bukan tak mungkin pembaca akan
benar-benar meninggalkan tulisan kita untuk seterusnya. “Capek bacanya“, mungkin
itu yang dirasakan.
Saya bersyukur ketika masa-masa penulisan
skripsi dulu, saya dibimbing oleh dua orang dosen yang sangat memerhatikan
kaidah penulisan bahasa Indonesia dalam lingkup karya ilmiah. Beliau berdua
ketat sekali soal penulisan ini. Salah sedikit, bahkan satu huruf atau tanda
baca saja, akan langsung dikoreksi. Istilah asing yang lupa dimiringkan -dengan
italic- atau
hanya sekadar kata “yang”, “di” yang tak tepat penggunaannya, tak segan-segan
mereka beri tanda merah. Mereka ternyata benar-benar memerhatikan karya tulis
mahasiswanya. Bukan asal koreksi. Lebih dari itu, mereka menuntut kesempurnaan
sebuah karya. Meski itu “hanya” sebuah skripsi. Dari pengalaman itu, saya
benar-benar belajar tentang pentingnya kesempurnaan dalam menghasilkan sebuah
karya tulis. Saya jadi cenderung perfeksionis kalau soal berbahasa tulis ini.
Untungnya, saya memang suka menulis dan
senang kata-kata. Jadi koreksi-koreksi yang saya terima dari dua dosen saya itu
justru menambah pengetahuan saya tentang penulisan dalam koridor bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Semua koreksi itu saya anggap ilmu yang memerkaya
kecintaan saya akan bahasa Indonesia. Kebiasaan dikoreksi itu lambat laun juga
membuat saya jadi si pengoreksi. Sedikit saja kesalahan berbahasa yang saya
tangkap, akan coba saya koreksi sepanjang yang saya tahu.
Satu huruf yang kurang, salah, atau satu kata
dan kalimat yang tak tepat penulisannya, akan membuat saya gatal untuk
mengoreksi. Masalah kata-kata baku dan tidak baku, imbuhan yang tak tepat
pakai, sampai penulisan kata-kata yang huruf awalnya luruh jika dimulai oleh
“K”, “P”, “S”, “T”. Tak jarang, teman-teman dan keluarga yang tahu tentang
kebiasaan saya ini menjuluki saya sebagai “guru Bahasa Indonesia”. Hahaha… Jadinya, saya
sering dimintai pendapat tentang suatu kata atau tulisan tertentu. Tak apalah.
Menjadi “guru Bahasa Indonesia” tentu asyik juga. Hehehe…
Sering saat saya sedang menonton televisi
dengan suami, saya menemukan ada kata yang dirasa kurang tepat atau kurang pas
yang tertulis di news ticker
atau yang dilafalkan pembaca berita dan presenter sebuah acara. Lalu kami akan
mendiskusikannya. Bukan secara formal tentunya. Hehehe… Atau sambil jalan lalu melihat plang
Apotek yang masih ditulis “Apotik”, Antre yang ditulis dengan “Antri” atau
Praktik yang masih banyak ditulis dengan “Praktek”. Itu pun pernah jadi bahan
obrolan. Tapi itu sudah menjadi sebuah kesenangan tersendiri bagi saya. Dari
hal-hal kecil tersebut saya jadi merasa terlatih untuk lebih baik berbahasa.
Lama kelamaan, suami saya juga jadi ikut-ikutan perfeksionis dalam berbahasa.
Akhir-akhir ini, malah saya yang sering dikoreksi. Hehehe…
Hal kesempurnaan berbahasa tulis ini tentunya
juga penting dalam rangka penulisan selain karya ilmiah. Menulis di blog pun, meski hanya
berisi uneg-uneg atau
hal remeh temeh yang dijalani setiap hari, sebisanya tetap harus tunduk pada
aturan berbahasa yang baik dan benar.
Bukan berarti harus berbahasa yang ketat atau
kaku. Silakan saja menulis seperti saat sedang mengobrol. Tapi hendaknya
konsisten dalam penulisan “aku” atau “saya”, “kau” atau “kamu” atau kata ganti
lainnya. Konsisten juga untuk memilih gaya bahasanya. Kalau sejak awal
bahasanya -bukan berarti bahasannya- cenderung serius, seterusnya begitu sampai
akhir tulisan. Begitu juga jika sejak awal sudah ber-haha hihi dengan bahasa
gaul, ya silakan saja. Jadi hal penting lain memang adalah konsistensi
berbahasa. Boleh berbahasa gaul, menulis dengan gaya seperti bercakap-cakap
dengan teman, namun harus diingat untuk menggunakannya sesuai konteks. Variasi
jenis bahasa tulisan ini juga baik untuk melatih kreativitas kita sebagai penulis
dan agar pembaca tak bosan membaca tulisan-tulisan kita yang semuanya terkesan
seragam.
Dari gaya penulisan dan cara kita menulis,
sedikit banyaknya pembaca bisa tahu siapa diri kita, bagaimana pemikiran kita,
sampai seberapa luas pengetahuan dan wawasan yang kita miliki. Yang terakhir
itu dimungkinkan dengan kekayaan perbendaharaan kata karena kebiasaan membaca.
Sekilas kepribadian kita juga bisa terbaca dari kata-kata yang kita susun
menjadi kalimat-kalimat, menjadi paragraph-paragraf, menjadi tulisan-tulisan.
Hanya dari membaca beberapa tulisan kita saja, pembaca bisa menilai bagaimana
diri kita. Seberapa besar minat kita dalam berbahasa serta belajar
menggunakannya sesuai konteks dan penulisan yang baik dan benar, dapat
terangkum dari tulisan-tulisan yang kita hasilkan.
Jadi, sebagai orang yang mengaku bertanah air
dan berbangsa Indonesia, mari kita juga cerdas berbahasa Indonesia. Bukankah
salah satu cara untuk menghargai sumpah para pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu
adalah dengan mencintai bahasa Indonesia dan belajar menggunakannya sesuai
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar?
0 komentar:
Posting Komentar